Ilustrasi - Agoni Pengantin |
Oleh : Dina Oktaviani
Baiklah. Aku akan menikahimu. Meski alasan yang kita dapatkan hanya makin membikin engkau dan aku ragu.
Dalam ruang berbentuk lingkaran, orang-orang segera mengambil bagiannya dalam pesta. Menyantap semua yang selayaknya dihidangkan dalam perayaan. Di tengah-tengah mereka, pengantin perempuan memucat. Ia memandang pengantin lelaki dan berkata pada dirinya sendiri: inilah yang kauinginkan. Pengantin lelaki berdiri tegak tanpa kehilangan sedikit pun garis puas di wajahnya. Perempuan itu merasakan mual yang berlebihan meski tahu dirinya mandul.
Inilah yang kauinginkan. Mengapa rasa takut itu jadi milikmu sekarang? Berhari-hari sebelum hari kemarin engkau masih bisa berkata tidak pada siapa pun. Engkau menulis apa pun yang kauinginkan. Semua yang kauanggap benar adalah sungguh benar. Orang-orang memanjakanmu dengan larangannya dan engkau menghindar. Engkau bantah semua perkataan yang tak baik bagi kegelisahanmu. Engkau pun sendiri.
Tinggal di sebuah kamar di sebuah rumah di sebuah kota. Engkau memasak makanan yang baru bagimu. Makan siang mengganti sarapan yang selalu tertunda. Mendengar lagu-lagu dari penyanyi lama yang baru kausukai. Ada delapan baris rak penuh buku di kamarmu dan engkau mampu menyerap hanya dengan memandang punggung judulnya. Lantas engkau duduk saja di hadapan rak itu, meletakkan cermin ukuran wajah di mukamu. Memandangi bayangan sendiri sambil berulang-ulang menghisap rokok dan menuang air ke cangkir. Memikirkan sumber penghasilan baru. Membuat catatan-catatan berisi hutang-hutang kecil. Bosan, lantas kau mencoba menuliskan sesuatu yang belum pernah kautuliskan sebelumnya.
Waktu adzan kau tak melakukan apa-apa tapi mematung menatap cermin. Kadang kaukencangkan suara tape karena tahu tak ingin sembahyang atau menangis. Jika melintas bayangan penghuni rumah yang lain di jendela kamarmu engkau mengambil sebuah buku besar dan berpura-pura telah membacanya sejak lama.
Kalau datang semangat kau segera mandi sore-sore, menyiapkan isi tas dan pergi mengunjungi tempat-tempat yang kau kenal. Melihat orang-orang berlatih apa saja. Menonton pertunjukan yang gratisan. Duduk-duduk di kafe bersama beberapa kenalan sampai giliran makan. Jika kecewa dengan mereka kau pergi ke tempat yang tak dikunjungi kawan-kawanmu. Toko buku atau swalayan.
Engkau akan pulang larut malam. Melangkah menuju rumah sambil mendengar kasak-kusuk beberapa tetangga yang sedang main kartu di lapangan depan rumah. Kalau pulang lebih awal kau mendengarkan lagu-lagu kesukaanmu lagi sambil terganggu oleh para lelaki di luar yang bercakap soal politik dan kejahatan-kejahatan kecil di kampung. Makan makanan sisa siang atau keluar mencari cemilan.
Memegangi handphone, mengetik beberapa pesan, memilih nama-nama dan nomor-nomor dan lebih sering tak jadi mengirimkannya pada siapa pun. Saat putus asa atas pesan-pesan itu, kau menyimpan nomormu sendiri dengan nama "God" dan mengirimkan pesan-pesan itu ke nomormu sendiri. Sekejap saja pesan-pesan itu tiba di handphone-mu dan kau membukanya dengan dada berdebar: Tuhan mencoba mendekatiku!
Setelah bermain-main dengan pesan-pesan konyol itu engkau pun tertidur dengan sedikit paksaan fisik. Mulai lelap saat subuh datang dan berakibat bangun siang.
Sebulan sekali kau masih selalu bisa merasakan puncak kegelisahan itu. Ketika seseorang menyapamu lewat pesan-pesannya dan mengundangmu datang. Engkau pun menyiapkan kebohongan-kebohongan kecil bagi pemilik rumah untuk mendapat izin keluar tengah malam. Dengan rasa cemas buatan yang menjelma jadi nyata engkau menuju jalan raya dan menyetop taksi. Membuka pakaian luarmu dan memasukkannya ke dalam tas. Kedinginan. Tiba di sebuah hotel. Bertemu seseorang dari masa depan dan memasuki lift.
Engkau melakukannya. Mengulang-ulang sedikit adegan yang kau ketahui. Hampir setiap pukul dua pagi, usai menusukkan puncak kegelisahanmu ke dalam puncak kegelisahannya, engkau merengek lapar. Lelaki di sampingmu memesan makanan dan menggendongmu di punggungnya menuju meja makan. Kalian makan. Engkau memancingnya bercakap soal politik dan kebudayaan agar lelaki itu tak lupa bahwa engkau tak cuma datang membawa tubuh. Lelaki itu mengagumi kecerdasanmu lalu kelelahan dan tidur. Engkau bersikeras melelapkan diri di ketiaknya.
Begitulah engkau menikmati usia tujuh belasmu. Beberapa hari sebelum hari kemarin. Tetapi mulai hari kemarin engkau mulai terganggu dengan hidupmu sendiri. Engkau melihat anak-anak seusia yang bukan kawanmu menata masa depan yang lebih terang meski tak cemerlang. Engkau merasa mual ketika melewati kampus-kampus mereka. Engkau mengalami migrain melihat festival-festival band. Jantungmu berdegup tidak normal mendengar mereka tertawa di mana saja.
Engkau ingin merasa bahwa engkau memang bukan bagian dari mereka. Engkau ingin meyakinkan bahwa engkau telah jauh lebih lama hidup dan mengalami segala jenis kesepian dan masalah. Engkau ingin orang-orang melihatmu sebagai gadis tua yang angkuh saja. Agar mereka segan dan tak kasihan. Tetapi tidak bisa. Mereka semua tahu kau baru mengakhiri usia tujuh belasmu dan mereka tahu engkau terbuang. Engkau tak bekerja dan tak sekolah. Engkau tak bersuami dan tak bersama keluarga. Maka sebagian dari mereka memandangmu kasihan. Sementara orang-orang yang sadar bahwa engkaulah yang memisahkan diri, mengacuhkanmu.
Mulai hari kemarin engkau tak berharap ke hotel itu lagi. Pesan-pesanmu tak terbalaskan. Engkau menemukan kelaminmu mulai menebarkan bau busuk. Engkau pun sibuk menambalnya dengan bedak-bedak dan pembalut yang wangi. Lalu engkau mengingat ibu, mamas, mbak yu dan adik-adikmu yang jauh. Lalu engkau teringat bapak yang bertahun kauanggap bejat.
Lalu engkau mencari-cari nomor telepon teman-teman SD. Mendapatkan beberapa dan mengabarkan bahwa dirimu hidup sendirian dengan maksud agar mereka tahu bahwa dirimu sukses tanpa siapa pun. Tetapi engkau teringat ibu, mamas, mbak yu, adik-adik dan bapak yang bejat itu lagi. Tiba-tiba engkau merasa takut kalau-kalau suatu hari mereka menagih masa depan kepadamu. Apa yang dapat kaubawa pulang? Tetapi aku tak mau pulang, katamu. Tetapi tidak bisa begitu. Engkau pasti pulang. Mereka akan menuntutmu pulang sebelum engkau punya tempat pulang yang lain. Aku akan mengelak. Tapi mereka akan mengejarmu. Ke mana pun. Bagaimana pun.
Maka engkau teringat seorang lelaki yang mengenalmu sejak kecil. Lelaki yang pernah kauanggap sebagai bapak-bapakan. Yang tak pernah menimbulkan nafsu dalam tubuh dan pikiranmu. Yang hanya kepadamu bisa seperti pendeta dan mengasihimu sebagai putra Tuhan. Engkau memintanya menikahimu. Dia tercengang. Dia mengajakmu merundingkan alasan atas pernikahan kalian. Di antara banyak alasan yang mungkin ada, kalian hanya menemukan satu alasan yang membuat engkau dan, terlebih, dirinya ketakutan.
Engkau mengatakan dirimu takut menjadi sia-sia. Takut menjadi bukan siapa-siapa yang tak melakukan apa-apa bagi siapa-siapa. Pernikahanlah yang mampu menyelamatkanku dari situasi ini. Dengan menikah aku memiliki tempat pulang yang baru selain masa lalu.
***
Tapi hari itu pengantin perempuanlah yang memucat. Sementara orang-orang yang tak ada bedanya berkali-kali menyalami dan menyantap makanan, dunia pengantin perempuan dirampas masa lalu dan masa depan.
Setelah hari pesta pernikahan itu. Pengantin perempuan dan pengantin laki-laki menjadi tempat pulang bagi masing-masing keduanya. Perempuan itu selalu menceritakan kesedihan-kesedihannya di masa lampau dan ketakutan-ketakutannya akan masa depan. Ia tetap tak percaya diri atas hidup yang dilakoninya. Ia makin tak tahu harus berbuat apa. Ia tak perlu melamun lagi. Ia tak punya kegelisahan untuk dituliskan. Ia tak perlu memikirkan hutang-hutang kecil dan masalah keuangan. Segalanya baik-baik saja. Suaminya bukan macam orang baik yang nyaris tanpa dosa dan membosankan. Ia lelaki yang mempunyai pemikiran dan cabang kehidupan yang luas dan mencengangkan.
Ia membiarkan istrinya melakukan apa saja. Ia tak melarangnya bergaul dengan siapa saja. Ia tak berkeberatan atas bau busuk kelamin istrinya. Ia tak mengharamkan apa pun untuk disentuh perempuan itu. Rokok, alkohol atau tempat hiburan. Tetapi ia tetap menjaganya. Menikmati kesedihan-kesedihan dan ketakutan-ketakutannya sambil bersikeras menikmati bau busuk kelaminnya. Ia bukan macam orang baik yang nyaris tanpa dosa. Ia ingin sekali menyetubuhi istrinya. Atau bermain saja dengan perempuan lain di luar.
Tetapi istrinya pun bukan macam perempuan yang patuh dan mengharukan, yang dengan sendu merawat dan membiarkannya bermain apa saja. Perempuan itu tetap hidup dengan pikiran-pikirannya, kecerdasan-kecerdasannya dan keliaran-keliarannya. Hampir selalu bangun siang dan hanya kadang-kadang memasak untuk keluarga. Selalu mengingatkannya untuk tak melakukan keduanya dan makin hari bau busuk itu membuat dirinya tak berselera pada kelamin perempuan atau persetubuhan. Jadi ia nikmati saja kesengsaraan itu bersama anak-anakannya di masa lalu itu.
Pengantin laki-laki itu mulai tahu perkawinannya tanpa nafsu, bahkan mulai beranjak pada tahap tanpa cinta. Perkawinan itu menjadi pertemanan yang dingin dan abadi. Pertemanan, yang tak mungkin dipisahkan karena ungkitan pemuasan atau memudarnya cinta.
Mereka bercakap di tempat tidur setiap malam. Mereka memberi makan anjing-anjing mereka seperti mengurus anak-anak mereka. Anjing-anjing yang saban hari menyalak bernafsu atas amis daging perempuan. Mereka makan bersama dan menghadiri undangan-undangan berdua. Mereka tertawa-tawa bersama setiap menyadari orang-orang di sekitar mereka mulai terganggu bau busuk.
***
Pengantin laki-laki itu berusaha keras melupakan kebiasaannya menghirup bau busuk dari kelamin pengantin perempuan. Tetapi kesedihan-kesedihan dan ketakutan-ketakutan yang selalu diceritakan kepadanya membuatnya cemas bertahun-tahun.
Ia pergi bekerja setiap hari. Makan siang di luar. Kadang-kadang memasak sendiri. Ada puluhan bingkai foto tergantung di kamarnya dan ia mampu mengalami kesedihan hanya dengan meliriknya. Maka ia berbaring saja di tempat tidur pada malam-malam hari. Ia tak lagi harus berjaga dini hari untuk membukakan pintu depan dan menahan diri untuk tidak bertanya "dari mana?" karena alasan privasi. Anjing-anjingnya mati kekurangan bau busuk dan ia tak ingin mengenangnya.
Kalau datang semangat ia mandi sore-sore sepulang kerja. Pergi ke rumah-rumah pelacuran. Ia mendapatkan kelamin perempuan dan persetubuhan. Jika muak dengan mereka ia mengunjungi tempat-tempat yang tak dikunjungi perempuan. Gay party atau bilyard.
Begitulah ia menikmati lajangnya. Bertahun-tahun sebelum hari kemarin. Mulai hari kemarin ia mulai terganggu dengan hidupnya sendiri. Ia melihat kawan-kawannya beristri dan berkeluarga. Ia menjadi berkeringat melewati jalan-jalan utama di hari Minggu. Sakit perut menerima undangan-undangan pesta dan makan malam.
Ia ingin merasa dirinya memang tak diciptakan untuk kehidupan yang biasa. Ia ingin orang-orang melihatnya sebagai pria yang mengagungkan kelajangan agar mereka kagum dan tak kasihan. Tetapi tidak bisa. Semua orang tahu bahwa ia punya seorang istri yang jauh-jauh hari telah meninggalkannya. Maka sebagian dari mereka memandangnya kasihan. Sementara orang-orang yang sadar bahwa ialah yang telah sejak mula mengambil keputusan konyol, mencibirnya.
Mulai hari kemarin ia tak ingin lagi pergi ke rumah-rumah pelacuran itu. Ia menemukan dirinya merindukan bau busuk kelamin istrinya. Ia kehilangan kebiasaan-kebiasaan yang tak mampu didapatkan atau dikembalikannya lagi. Ia turun ke jalan-jalan utama pada Minggu pagi dan bergabung dengan para pejalan kaki. Ia menyadari dirinya telah menjadi bukan siapa-siapa yang tak melakukan apa-apa bagi siapa-siapa, ketika sebuah pesan memaksa masuk: Apa kamu merindukanku ? ***
Komentar
Posting Komentar